BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat pendidikan sebagai salah satu acuan untuk memperbaiki
pendidikan di Indonesia. Karena dalam memperlajari Filsafat Pendidikan Kita
lebih tahu dasar-dasar pendidikan. Dengan mempelajarinya maka generasi yang
akan datang akan lebih memahami tentang pendidikan dan aliran filsafat
pendidikan, supaya kita dapat mengambil hikmah pembelajaran dari aliran-aliran
filsafat pendidikan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa penjelasan tentang Aliran
Perenialisme?
2.
Apa penjelasan tentang Aliran
Progresivisme?
3.
Apa penjelasan tentang Aliran
Rekonstruksionisme?
4.
Apa penjelasan tentang Aliran
Esensialisme?
5.
Apa penjelasan tentang Aliran Idealisme?
6.
Apa penjelasan tentang Aliran Realisme?
7.
Apa penjelasan tentang Aliran
Materialisme?
8.
Apa penjelasan tentang Aliran
Pragmatisme?
9.
Apa penjelasan tentang Aliran
Eksistensialisme?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui penjelasan tentang Aliran
Perenialisme?
2.
Mengetahui penjelasan tentang Aliran
Progresivisme?
3.
Mengetahui penjelasan tentang Aliran
Rekonstruksionisme?
4.
Mengetahui penjelasan tentang Aliran
Esensialisme?
5.
Mengetahui penjelasan tentang Aliran
Idealisme?
6.
Mengetahui penjelasan tentang Aliran
Realisme?
7.
Mengetahui penjelasan tentang Aliran
Materialisme?
8.
Mengetahui penjelasan tentang Aliran
Pragmatisme?
9.
Mengetahui penjelasan tentang Aliran
Eksistensialisme?
A.
Aliran Perennialisme
Perennialisme
diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford
Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing
throughout the whole year” atau “Lasting for a very long time” - abadi atau
kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu aliran Pernnialisme mengandung
kepercayaan filsafat yang berpegang kepada nilai-nilai dan norma yang bersifat
kekal abadi.[1]
Perenialisme
merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke dua puluh.
Perennialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perennialisme
menentang pandangan Progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu-sesuatu
yang baru. Perennialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian dan ketidak teraturan, terutama dalam kehidupan moral,
intelektual, dan sosio cultural. Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk
mengamankan ketidakberesan tersebut.[2]
Perennilisme
melihat bahwa akibat dari kehidupan jaman modern telah menimbulkan banyak
krisis diberbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini
Pernnialisme memberikan jalan keluar berupa kembali kepada kebudayaan masa
lampau, “regressive road to culture”. Oleh sebab itu Perennialisme memandang
penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia jaman
modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan yang
telah terpuji ketangguhannya.[3]
Perennialisme
dalam konteks pendidikan dibangun atas dasar suatu keyakinan ontologisnya,
bahwa batang tubuh pengetahuan yang berlangsung dalam ruang dan waktu ini
mestilah terbentuk melalui dasar-dasar pendidikan yang diterima manusia dalam
kesejarahannya. Robert M. Hutchins, salah seorang tokoh perennialisme
menyimpulkan bahwa tugas pokok pendidikan adalah pengajaran. Pengajaran
menunjukkan pengetahuan sedangkan pengetahuan itu sendiri adalah kebenaran.
Kebenaran pada setiap manusia adalah sama, oleh karena itu, dimanapun dan
kapanpun ia akan selalu sama.[4]
Pola
dasar pendidikan perennialisme hanya dibatasi pada prinsip-prinsip umum dari
teori dan praktek pendidikan yang dilaksanakan oleh penganut Perennialisme.
Bahkan harus diakui bahwa prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan Perennialisme
tidak selalu secara mutlak konsisten dengan asas-asas filosofis yang menjadi
dasar pandangannya.[5]
Perennialisme
memandang kebenaran sebagai hal yang konstan, abadi atau perennial. Tujuan dari
pendidikan, menurut pemikir perenialis, adalah memastikan bahwa para siswa
memperoleh pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau gagasan-gagasan besar yang
tidak berubah.[6]
Pikiran Plato tentang pola dasar pendidikan aliran ini adalah bahwa essensi
ilmu Pengetahuan dan nilai-nilai ialah manifestasi daripada hukuman universal
yang abadi dan sempurna, yakni idea (yang supernatural).
B.
Aliran Progresivisme
Progresivisme
bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran yang berdiri sendiri,
melainkan merupakan suatu gerakan dan kumpulan yang didirikan pada tahun 1918.
Selama dua puluh tahunan merupakan suatu gerakan yang kuat di Amerika Serikat.
Banyak guru yang ragu-ragu terhadap gerakan ini, karena guru telah mempelajari
dan memahami filsafat Dewey, sebagai reaksi terhadap filsafat lainnya. Kaum
progresif sendiri mengeritik filsafat Dewey. Perubahan masyarakat yang
dilontarkan oleh Dewey adalah perubahan secara evolusi, sedangkan kaum
progresif mengharapkan perubahan yang sangat cepat, agar lebih cepat mencapai
tujuan.
Filsafat
progresif berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini tidak mungkin
benar dimasa mendatang. Karenanya, cara terbaik mempersiapkan para siswa untuk
suatu masa depan yang tidak diketahui adalah membekali mereka dengan
strategi-strategi pemecahan masalah yang memungkinkan mereka mengatasi tantangan-tantangan
baru dalam kehidupan dan untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang relevan pada
saat ini. Melalui analisis diri dan refleksi yang berkelanjutan, individu dapat
mengidentifikasi nilai-nilai yang tepat dalam waktu yang dekat.
Progresivisme
didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan harus berpusat pada anak
(child-centered) bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Tulisan-tulisan John Dewey pada tahun 1920-an dan 1950-an berkontribusi cukup
besar pada penyebaran gagasan-gagasan progresif.
C.
Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme
merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasari
atas suatu tanggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri
dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini.
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun
1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Dalam
publikasinya “Dare the School Build a New Social Order”, George
mengemukakan bahwa sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi
pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, membasmi kemelaratan,
peperangan, dan kesukuan (rasialisme).
Aliran
ini dalam satu prinsip sependapat dengan perenialisme, bahwa ada satu kebutuhan
yang amat mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman modern
sekarang, yang sekarang mengalami ketakutan, kebimbangan dan kebingungan.[7]
D.
Aliran Esensialisme
Gerakan
esensialisme muncul pada awal tahun 1930, dengan beberapa orang pelopornya,
seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed, dan Isac L. Kandell.
Pada tahun 1938 mereka membentuk suatu lembaga yang disebut “The Esensialist
Commite for the Advancement of American Education”. Bagley sebagai pelopor
esensialisme adalah seorang guru besar pada ”Teacher College”, Columbia
University. Ia yakin bahwa fungsi utama sekolah adalah menyampaikan warisan
budaya dan sejarah kepada generasi muda.
Gerakan
back to basics yang dimulai pertengahan tahun 1970-an adalah dorongan skala
besar yang mutakhir untuk menerapkan program-program esensialis di
sekolah-sekolah dan tidak semua teori aliran ini berasal dari filsafat
esensialisme. Tujuan pendidikan aliran ini adalah untuk meneruskan warisan
budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakulmulasi dan
telah bertahan dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu kehidupan
yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh semua orang.[8]
E.
Aliran Idealisme
Filsafat
idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan pula
fisik. Parmenides, filosof dari Elea (Yunani Puba), berkata, “Apa yang tidak
dapat dipikirkan adalah tidak nyata”. Plato seorang filosof idealisme klasik
(Yunani Purba), menyatakan bahwa realitas terakhir adalah dunia cita. Dunia
cita merupakan dunia mutlak, tidak berubah, dan asli serta abadi. Realitas
akhir tersebut sebenarnya telah ada sejak semula pada jiwa manusia.
Schoupenhaur menyatakan bahwa “Dunia adalah ide saya”. Menurut Hegel,
dunia adalah roh, yang mengungkapkan diri dalam alam, dengan maksud agar roh
tersebut sadar akan dirinya sendiri. Hakikat roh dapat berupa ide atau pikiran.
Mereka dapat mewakili pandangan metafisika idealisme.[9]
Menurut
Plato tentang teori pengetahuan, idealisme mengemukakan pandangan bahwa
pengetahuan yang diperoleh melallui indera tidak pasti dan tidak lengkap, karena dunia hanyalah merupakan hasil akal
belaka, karena akal dapat membedakan bentuk spiritual murni dan benda-benda
diluar penjelmaan material.
Menurut
pandangan idealisme, nilai itu absolute, apa yang dikatakan baik, benar, salah,
cantik, atau tidak cantik, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke
generasi. Pada hakikatnya nilai itu tetap. Nilai tidak diciptakan manusia,
melainkan merupakan bagigan dari alam semesta.
Idealisme
memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan teori pendidikan,
khususnya filsafat pendidikan. Tokoh idealisme merupakan orang-orang yang yang
memiliki nama besar. Sampai sekarang orang akan mengakui kebesaran hasil
pemikirannya, baik memberikan persetujuannya maupun memberikan kritik, bahkan
penolakan.[10]
F.
Aliran Realisme
Pada
dasarnya realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis.
Realisme berbeda dengan materialisme dan idealisme yang bersifat monistis.
Realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri ataas dunia fisik dan
dunia rahani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subyek yang
menyadari dan mengatahui disatu pihak, dan dipihak lainnya adalah adanya
realita diluar manusia, yang dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan manusia.[11]
G.
Aliran Materialisme
Materialisme
berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan
spiritual, atau supranatural. Demokritos (460-360 SM), merupakan pelopor
pandangan materialisme klasik, yang disebut juga “atomisme”. Demokritos beserta
para pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian
kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (yang disebut atom-atom) atom-atom
merupakan bagian dari yang begitu kecil sehingga mata kita tidak dapat
melihatnya. Atom-atom itu bergerak, sehingga dengan demikian membentuk realitas
pada panca indera kita.[12]
Materialisme
maupun positivisme, pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan secara
eksplisit. Bahkan menurut Henderson (1959), materialisme belum pernah menjadi
penting dalam menentukan sumber teori pendidikan. Menurut Waini Rasyidin
(1992), filsafat positivisme sebagai cabang dari materialisme lebih cenderung
menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil
pendidikan secara factual.[13]
H.
Aliran Pragmatisme
Pragmatisme
dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada
filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa
yang manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles
Sandre Peirce (1893-1914), Wiliam James (1842-1910), dan John Dewey
(1859-1952).
Realitas
dan dunia yang kita amati, tidak bebas dari ide manusia dan sekaligus juga
tidak terikat kepadanya. Realitas merupakan interaksi antara manusia denga
lingkungannya. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung
jawab yang sama terhadap realitas.
Pragmatisme
yakin bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak
begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannya secara
empiris. Pikiran (rasio) tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia,
melainkan merupakan bagian dari dunia.
Pragmatisme
mengemukakan pandangannya tentang nilai, bahwa nilai itu relatif. Kaidah-kaidah
moral dan etik tidak tetap, melainkan selalu berubah, seperti perubahan
kebudayaan, masyarakat, dan lingkungannya. Pragmatisme menyarankan untuk
menguji kualitas nilai dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran
pengetahuan dengan metode empiris.
Pragmatisme
telah memberikan sumbangan besar terhadap teori pendidikan. Menurut Dewey,
terdapat dua teori pendidikan yang saling bertentangan antara satu dengan yang
lainnya. Kedua teori tersebut adalah paham konservatif dan ”unfolding
theory” (teori pemerkahan).[14]
I.
Aliran Eksistensialisme
Filsafat
eksistensialisme itu unik yakni memfokuskan pada pengalaman-pengalaman
individu. Filsafat-filsafat lain berhubungan dengan pengembangan sistem
pemikiran untuk mengidentifikasi dan memahami apa yang umum pada semua
realitas, keberadaan manusia dan nilai.
Menurut
eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif
dan skeptis. Filsafat spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental
tentang pengnalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang
secara inheren telah ada dalam diri individu. Jadi pengalaman tidak banyak
pengaruh terhadap diri individu.
Teori
pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi,
suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan
peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakkan dirinya
terhadap kesadaran manusia.
Pemahaman
eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan
bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri. Melainkan merupakan
suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih,
namun menentukan pilihan-pilihan diantara pilihan-pilihan yang terbaik adalah
yang paling sukar.
Eksistensialisme
sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap
individu dipandang sebagai makhluk yang unik, dan secara unik pula ia
bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun
Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali
dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada
masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia,
hakikat kepribadian, dan kebebasan adalah kemerdekaan.[15]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perennialisme
diambil dari kata perennial, yang berarti abadi atau kekal. Perennialisme
merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke dua puluh. Pola
dasar pendidikan perennialisme hanya dibatasi pada prinsip-prinsip umum dari
teori dan praktek pendidikan yang dilaksanakan oleh penganut Perennialisme. Perennialisme
memandang kebenaran sebagai hal yang konstan, abadi atau perennial. Tujuan dari
pendidikan, menurut pemikir perenialis, adalah memastikan bahwa para siswa
memperoleh pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau gagasan-gagasan besar yang
tidak berubah.
Progresivisme
bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran yang berdiri sendiri,
melainkan merupakan suatu gerakan dan kumpulan yang didirikan pada tahun 1918.
Filsafat progresif berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini
tidak mungkin benar dimasa mendatang.
Rekonstruksionisme
merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan dipelopori oleh George
Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru,
masyarakat yang pantas dan adil.
Esensialisme
muncul pada awal tahun 1930, dengan beberapa orang pelopornya, seperti William
C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed, dan Isac L. Kandell. Pada tahun 1938
mereka membentuk suatu lembaga yang disebut “The Esensialist Commite for the
Advancement of American Education”.
Idealisme
memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan pula fisik. Menurut
pandangan idealisme, nilai itu absolut, apa yang dikatakan baik, benar, salah,
cantik, atau tidak cantik, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke
generasi. Pada hakikatnya nilai itu tetap. Nilai tidak diciptakan manusia,
melainkan merupakan bagigan dari alam semesta.
Reallisme
merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berbeda
dengan materialisme dan idealisme yang bersifat monistis.
Materialisme
berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan
spiritual, atau supranatural.
Pragmatisme
dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada
filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa
yang manusia alami.
Eksistensialisme
itu unik yakni memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu.
Filsafat-filsafat lain berhubungan dengan pengembangan sistem pemikiran untuk
mengidentifikasi dan memahami apa yang umum pada semua realitas, keberadaan
manusia dan nilai.
B.
Saran
Tidak ada yang
sempurna didunia ini kecuali ciptaan-Nya. Apalagi manusia tidak ada daya
apa-apa untuk menciptakan sesuatu. Demikian juga dengan karya ilmiah ini yang
jauh dari kesempurnaan. Penulis harap karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua
pihak yang telah membantu dan para pembaca. Kritik dan saran senantiasa saya
terima demi penyempurnaan karya ilmiah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Noor Syam, Muhammaad. 1984. Filsafat Pendidikan dan Dasar
Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
Sadulloh, Uyoh. 2008. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung:
Alfabeta.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat
Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Zuhairini, dkk. 2008. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
[1]
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam
(Jakarta: PT Bumi Aksara,
2008), hlm. 27
[3]
Zuhairini, dkk., Op,Cit.
[4]
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan (Bandung:
Refika Aditama, 2011), hlm. 163
[5]
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan
Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya:
Usaha Nasional, 1984), hlm. 319
[6]
Uyoh Sadulloh, Op. Cit. hlm 155.
[7]
Muhammad Noor Syam, Op. Cit. hlm. 340.
[8]
Uyoh Sadulloh Op. Cit. hlm. 161.
[9]
Ibid. hlm. 97
[10]
Ibid. hlm. 100.
[11]
Ibid. hlm. 103.
[12]
Ibid. hlm. 113.
[13]
Ibid. hlm. 106.
[14]
Ibid. hlm. 124.
[15]
Ibid. hlm. 137.
Posting Komentar