BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan agama yang diberikan secara formal disekolah khususnya yang
diselenggarakan oleh lembaga keagamaan seperti Pesantren, Gereja,
Yayasan Islam, dan lain sebagainya, oleh masyarakat dinilai gagal,
karena menurut penilaian masyarakat tujuannya tidak tercapai. Agama ternyata tidak membantu dalam upaya menanggulangi konflik sosial, padahal agama dibanggakan dan diandalkan sebagai:
Pertama,
kekuatan spiritual masyarakat bangsa yang dianggap mampu untuk
menjadikan masyarakat sebagai manusia yang adil, beradab, berakhlak,
baik dan terpuji. Kedua, sebagai potensi dasar untuk membentuk tradisi berpikir, bersikap dewasa, terbuka, dan toleran. Ketiga,
menjawab basic need masyarakat dari generasi ke generasi untuk bisa
hidup berdampingan secara dinamis dan rukun dalam agama, etnik, dan
budaya.
Dalam membuktikan bahwa penilaian tersebut benar, perlu ditelusuri
secara historis perkembangan pendidikan formal dan pendidikan agama
serta kelemahan-kelemahan atau kesalahan-kesalahan yang terjadi sehingga
tidak berhasil.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana Sejarah Perguruan Agama di Indonesia?
- Bagaimana Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional?
- Bagaimana Implementasi Nilai-nilai Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional?
- Bagaimana Pendidikan Formal di Indonesia dan Peran Pendidikan Agama?
- Bagaimana Cara Mencari Suatu Model Pendidikan Agama Yang Relevan Dalam Masyarakat Majemuk?
|
C. Tujuan Penulisan
- Bagaimana Sejarah Perguruan Agama di Indonesia?
- Bagaimana Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional?
- Bagaimana Implementasi Nilai-nilai Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional?
- Bagaimana Pendidikan Formal di Indonesia dan Peran Pendidikan Agama?
- Bagaimana Cara Mencari Suatu Model Pendidikan Agama Yang Relevan Dalam Masyarakat Majemuk?
BAB II |
PEMBAHASAN
Secara
kultural, pendidikan pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi
dan tujuan yang tidak bereda. Semuanya dalam upaya untuk menegakkan
martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya.
Dunia pendidikan Islam dengan pendidikan pada umumnya, kadang-kadang
memang mempunyai persamaan dan kadang-kadang juga memiliki perbedaan.
Persamaan akan timbul karena sama-sama berangkat dari dua arah
pendidikan yakni dari diri manusia yang memang fitrahnya untuk melakukan
proses pendidikan, kemudian dari budaya yakni masyarakat yang memang
menginginkan usaha warisan nilai, maka semua memerlukan pendidikan.1
Pendidikan nasional menggalakan potensi individu secara menyeluruh dan
terpadu untuk mewujudkan insan yang seimbang dan harmonis dari segi
intelektual, rohani dan iman, berdasarkan kepada kepercayaan dan
kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada penekanan dalam bidang rohani
maupun jasmani manusia dalam sistem pendidikan nasional merupakan
ciri-ciri pendidikan Islam. Karena itu kurikulum pendidikan keagamaan
merupakan bagian yang dimuat dalam kurikulum pendidikan maupun yang
melekat pada setiap pelajaran sebagai bagian dari pendidikan nilai.
A. Sejarah Perguruan Agama Islam di Indonesia
Perguruan
agama Islam merupakan cikal bakal lahirnya pendidikan nasional. Dalam
sejarahnya, sebelum kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan
Baratnya yang modern, pesantren merupakan satu-satunya lembaga
pendidikan formal di Indonesia. Karena itulah pesantren merupakan
“Bapak” pendidikan (termasuk Islam) di Indonesia.2
Perkembangan Agama Islam Abad XIX dan Kelahiran Lembaga-lembaga Islam di Bidang Pendidikan
Perkembangan Agama Islam Abad XIX dan Kelahiran Lembaga-lembaga Islam di Bidang Pendidikan
Pada
masa ini cukup banyak perubahan bagi umat Islam di Indonesia, antara
lain disebabkan sudah banyaknya orang yang menunaikan ibadah haji ke
Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah mereka membawa paham atau
pikiran-pikiran baru yang berbau pembaruan.
Dampaknya dalam dunia pendidikan Islam yang sangat dirasakan antara lain:
a. Perubahan sistem pengajaran dari perorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal.
b. Pemberian pengetahuan umum disamping pengetahuan agama dab bahasa Arab.
Diantara
para ulama yang berjasa dalam upaya pengembangan pendidikan Islam
terutama di pesantren tradisional dan hanya mengajarkan ilmu agama di
Madrasah ialah:
1) Syekh Abdullah Ahmad
Pendiri Madrasah Adabiyah di Padang, Sumatra Barat pada tahun 1909. Madrasah ini merupakan madrasah pertama di Indonesia.
2) Syekh M’ Thaib Umar
Pendiri
Madrasah School di Batusangkar pada tahun 1910. Sebagaimana layaknya
sistem sekolah, murid-murid tidak lagi duduk secara berhalaqah,
melainkan duduk berjajar, menggunakan meja, kursi dan papan tulis.
Dengan kata lain madrasah School telah memperkenalkan sistem belajar
modern.
3) Rahmah el Yunusiyah
Mendirikan
Madrasah Diniyah putri di Padang Panjang pada tanggal 1 Nopember 1923.
Perguruan agama ini khusus mendidik putra-putri dalam ilmu pengetahuan
agama dan ilmu pengetahuan umum.
4) K.H. A. Wahab Hasbullah dan K.H. Mas Mansur
Mendirikan
Madrasah Taswirul Afkar pada tahun 1914. Madrasah ini juga disamping
memberikan pengetahuan agama juga memberikan pengetahuan umum.
5) K.H. Hasyim Asy’ari
Mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng, Jombang Jawa Timur pada tahun 1916.
6) K.H. Ahmad Dahlan
Lewat
organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan pada 18 Nopember 1912, ia
mendirikan berbagai lembaga pendidikan dengan menggunakan sistem modern,
dengan memadukan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum yang
diajarkan dilembaga-lembaga pendidikannya.
2. Proses Penyatuan Sistem Penyelenggaraan dan Lahirnya Madrasah Negeri
Upaya-upaya
perbaikan dan peningkatan madrasah selalu dilakukan dalam berbagai
aspek. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap
lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) tanggal 27 Desember 1945, yang
menyebutkan bahwa: madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah
satu alat dan sumber pendidikan dan kecerdasan rakyat jelata yang sudah
berurat berakat dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula
mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan
material dari pemerintah.3
3. Lahirnya SKB 3 Menteri, SKB 2 Menteri, dan Penetapan Kurikulum 1984
Upaya
untuk meningkatkan kualitas dan penyelenggaraan madrasah senantiasa
dilakukan setelah adanya usaha penegerian terhadap madrasah swasta, maka
terbit lagi Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 1975 antara
Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Kebudayaan, dan Menteri
Dalam Negeri tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah.
4. Madrasah Aliyah Program Khusus
Kelahiran
madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang didasari dengan keputusan
Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1987 dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan
tenaga ahli dibidang agama Islam sesuai dengan tuntutan pembangunan
nasional. Maka, dengan itu perlu dilakukan usaha peningkatan mutu
pendidikan pada madrasah Aliyah.
5. Perintisan Wajib Belajar 9 Tahun di Madrasah
Dengan
lahirnya UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
diikuti dengan beberapa Peraturan Pemerintahan sebagai kerangka acuan
penyelenggaraan, terutama PP Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Dasar, maka jenjang pendidikan dasar yang merupakan program wajib
belajar adalah 9 tahun, meliputi Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun dan
Madrasah Tsanawiyah 3 tahun. Wajib belajar itu sendiri secara resmi
dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Mei 1994.
6. Kelahiran Kurikulum 1994
Usaha
untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu madrasah ternyata tidak
pernah berhenti, seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan
majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, madrasah pun tidak mau
ketinggalan. Dengan pemberlakuan UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dengan segala Peraturan Pemerintahan sebagai pedoman
pelaksanaanya, maka kurikkulum berbagai jenjang dan jenis pendidikan
yang sedang berlaku perlu disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan tersebut.
B. Pendidikan Agama Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Secara
historis diketahui bahwa sejak pemerintahan Kolonial Belanda
memperkenalkan sistem pendidikannya yang bersifat sekuler, keadaan
pendidikan di Indonesia berjalan secara dualistis. Pendidikan kolonial
yang tidak memperhatikan nilai-nilai agama dengan pola Baratnya berjalan
sendiri, sementara pendidikan Islam yang diwakili pesantren dengan
tidak memperhatikan pengetahuan umum juga berjalan sendiri.
1. Fungsi Pendidikan Agama Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Secara
eksplisit fungsi pendidikan agama yang telah dituangkan dalam
penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 1989, yang menyebutkan
“pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut peserta
didiknya yang bersangkutan, dengan memperhatikan tuntutan yang
menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam
masyarakat untuk mewujudkan persatuan basional.4
C. Implementasi Nilai-nilai Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan
keagamaan merupakan bagian terpadu yang dimuat dalam kurikulum
pendidikan maupun melekat pada setiap mata pelajaran sebagai bagian dari
pendidikan nilai. Oleh karena itu nilai-nilai agama akan selalu
memberikan corak kepada pendidikan agama.
Pada
palaksanaannya, pendidikan keagamaan dalam sistem pendidikan nasional,
baik yang berada pada jalur sekolah maupun pendidikan luar sekolah,
paling tidak tampil dalam beberapa bentuk atau kategori yang secara
substansial memiliki perbedaan, baik dalam sifatnya maupun dalam
implikasi pelaksanaannya sebagai barikut:
1. Keberadaan Mata Pelajaran Agama
Didalam
UU Nomor 2 tahun 1989 dikemukakan bahwa pendidikan keagamaan merupakan
pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan
peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama
yang bersangkutan, dan diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan.
Pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam kurikulum
semua jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia.
2. Lembaga Penyelenggara Pendidikan Keagamaan
Dalam
sistem pendidikan nasional, pesantren yang mempunyai akar kuat dalam
masyarakat Islam Indonesia merupakan bagian dari jalur pendidikan luar
sekolah. Di pesantren secara intensif agama dipelajari, didalami, dan
dikaji.
3. Melekatnya Nilai-nilai Agama pada Setiap Mata Pelajaran
Hal
ini pada dasarnya lebih subtil, namun mempunyai peranan yang sangat
penting dalam upaya mengembangkan nilai-nilai keagamaan pada anak didik.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah pendidikan MIPA. Melalui pendidikan
ini siswa mempelajari substansi ke-MIPA-an yang terdiri atas
dalil-dalil, teori-teori, generalisasi-generalisasi, prinsip-prinsip,
dan konsep-konsep MIPA.
4. Penanaman Nilai-nilai Agama di Keluarga
Keluarga
merupakan bagian dari pendidikan luar sekolah sebagai wahana pendidikan
agama yang paling ampuh. Keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan
utama bagi seseorang, dengan orang tua sebagai kuncinya. Dalam hal ini
Al-Qur’an mengungkapkan tentang peranan orang tua untuk mendidik
anak-anaknya, seperti yang dinyatakan dalam Surat Al-Tahrim ayat 6,
yaitu:
يَآَ يُّهَاالَّذِيْنَءَاَمَنُوْا قُوْآ أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
D. Pendidikan Formal di Indonesia dan Peran Pendidikan Agama
Pendidikan formal di Indonesia sudah dimulai sebelum pemerintahan kolonial,
tepatnya sejak VOC. Tetapi menurut Ki Hajar Dewantara, sekolah tersebut
juga diselenggarakan karena kepentingan kompeni, yaitu untuk mengadakan
tenaga kerja ketimbang kepentingan rakyat. Sekalipun pemerintah beralih
ke VOC kepada pemerintahan kolonial
Hindia Belanda, dan telah diterapkan politik etis, serta
diselenggarakan sekolah pemerintahan, namun tujuannya masih tetap
mendidik calon pegawai negeri dan pembantu di perusahaan Belanda.
Ki hajar Dewantara menggambarkan bahwa disatu pihak, pribumi yang bersekolah ini tidak diberi kesempatan dan tidak dibekali dengan
kemampuan yang memadai untuk menjadi sama dengan orang Belanda.
Sementara dipihak lain mereka mencabut akarnya ditengah masyarakat
pribumi. Lulusan HIS yang adalah bumi putera hanya boleh menjadi tenaga
kerja kelas dua, yang gajinya tidak akan pernah sama dengan orang
Belanda.
Dalam
membandingkan sekolah yang diselenggarakan pemerintah Belanda dengan
yang diselenggarakan oleh gereja, Ki Hajar Dewantara menilai sekolah
yang dikelola gereja lebih baik karena pendidikan yang disajikan
berorientasi pada budaya pribumi, sedangkan sekkolah pemerintah
berorientasi Barat.1
Sekolah
gereja menggunakan bahasa Melayu, sehingga sekolah-sekolah itu bukan
saja menghasilkan pribumi yang cerdas tetapi sekaligus yang tidak
tercabut dari akar budayanya. Sekolah-sekolah gereja atau zending (Badan
Pekabaran Injil) memang memainkan peranan penting dalam pengembangan
budaya dan rasa persatuan bangsa Indonesia. Ki Hajar mencatat bahwa
sebelum tahun 1862 (politik etis), hanya zending Kristen yang memandang
pendidikan sebagai tugas kebudayaan, yang memang sesuai sekali dengan
pemikiran evangelisasi (Injil).
Sekolah-sekolah
gereja juga kesehatan diselenggarakan terbuka untuk siapa saja, tanpa
mengharuskan mereka menjadi Kristen. Lembaga-lembaga itu lebih merupakan
lembaga pelayanan daripada lembaga peng-Kristen-an. Dasar dari gereja
adalah jiwa atau semangat yang ada pada Injil sendiri, yakni memanusiakan manusia melalui transformasi kehidupan seutuhnya.
Dengan semangat itulah seorang penginjil yang sekaligus guru, Nicolaas
Graafland mengelola sekolah guru yang terkenal dizaman Belanda, yaitu
sekolah guru Tanahwangko. Sesuai dan berdasarkan Injil, pendidikannya
mengubah kehidupan menjadi lebih baik serta sejahtera lahir batin.
Menurutnya peradaban, proses kulturasi dan agama harus terpadu secara
harmonis dalam pendidikan lewat sekolah-sekolah. Pendidikan Graafland
dipuji oleh Ki Hajar karena menekankan kebudayaan, teristimewa
kebudayaan nasional.2
Pendidikan
sebagai salah satu usaha memberikan segala nilai-nilai kebatinan, yang
ada dalam hidup rakyat yang berbudayaan, kepada generasi penerus lewat
pewarisan budaya, tidak hanya berupa “pemeliharaan”, akan tetapi juga
dengan maksud “memajukan”, serta “mengembangkan” kebudayaan, menuju
kearah keluhuran hidup kemanusiaan.
Untuk
itu pengajaran umum hendaknya dapat mempersatukan dan memperkuat
kebudayaan bangsa, menumbuhkan semangat kebangsaan yang sehat, kuat, dan
pelajarannya bersumber pada agama, adat istiadat, kesusilaan, kesenian,
sejarah, dan nilai yang mengandung nilai adab pada umumnya. Pengajaran
yang bersumber pada agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain).
Menurut Ki Hajar hendaknya digunakan untuk mengisi adab kesusilaan
(etik dan moral), dengan harapan nantinya anak-anak dapat terbangun rasa
penghargaan, cinta, dan keinsyafan terhadap semua agama, terutama
agamanya sendiri.
Pendidikan
agama menjadi pelajaran wajib disemua jenjang pendidikan sebagai bagian
integral pendidikan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas,
kreatif, inovatif, dan sebagainya. Pendidikan nasional juga diharapkan
menumbuhkan sikap patriotik, dan rasa cinta tanah air, meningkatkan rasa
solidaritas, serta menumbuhkan semangat yang berorientasi masa depan.
Dengan
kata lain, pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta
harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia Indonesia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri sehingga
mampu membangun dirinya dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Oleh
karena itu munculnya pertikaian dan kerusuhan yang bersumber pada
perbedaan suku, ras dan agama Indonesia yang menelan beribu korban jiwa
dapat dilihat sebagai akibat gagalnya pendidikan agama yang
diselenggarakan disekolah-sekolah dan diluar sekolah.
E. Mencari Suatu Model Pendidikan Agama Yang Relevan Dalam Masyarakat Majemuk
Pertanyaan yang paling mendasar adalah : “Apakah dasar dan tujuan pendidikan, khususnya pendidikan agama?”. Tujuan
pendidikan bermakna kultural, seperti kata Ki Hajar, dikembangkan oleh
pewarisnya sehingga warisan itu berguna bagi kehidupannya. Begitu pula
halnya dengan pendidikan agama, harus memampukan seseorang bukan hanya
mengenal agamanya tetapi mampu pula bertumbuh dalam imannya dan
memberlakukan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, demi kehidupan
yang sejahtera lahir batin bagi semua.
Sasaran
akhir dari pendidikan agama haruslah seorang pribadi yang memiliki
integrasi diri, mampu menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup
dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang
sejahtera yang dikaruniakan Allah kepada manusia.
Dengan
kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memampukan manusia mengambil
bagian secara aktif, kreatif dan kritis dalam pembangunan masa depan
bersama yang lebih baik daripada masa lalu. Menurut seorang ahli
pendidikan agama Kristen, Ronald Goldman, walaupun pendidikan agama
menghasilkan keuntungan sosial, moral, budaya dan usaha pekabaran Injil
suatu gereja, namun jangan hal itu menjadi pendorong bagi
penyelenggaraan pendidikan agama. Kebutuhan naradidik haruslah menjadi
titik awal dan tujuan akhir dari pendidikan agama, dan motivasinya
haruslah demi kebutuhan manusia akan hidup yang sejahtera.
Bila
tujuan akhir pendidikan adalah perubahan perilaku dan sikap serta
kualitas seseorang, maka pengajaran harus berlangsung sedemikian rupa
sehingga tidak sekedar memberi informasi atau pengetahuan melainkan
harus menyentuh hati, sehingga akan mendorong untuk mengambil keputusan
untuk berubah.
Dalam
bahasa pendidikan dikatakan bahwa tujuan pendidikan atau pengajaran
baru berhasil jika mengena dimensi atau ranah kognitif (intelektual),
afektif (perilaku) dan psikomotorik (keterampilan). Jika perubahan tidak
terjadi maka pendidikan dinyatakan gagal. Dan nampaknya pendidikan
formal di Indonesia lebih menekankan ranah kognitif atau kemampuan
intelektual naradidik, ketimbang pribadi seutuhnya. Memang paling sulit
adalah menilai segi afektif, namun tidak berarti itu boleh diabaikan.
Kehadiran
mata pelajaran agama justru mengaburkan arti beragama dan arti iman
sesungguhnya. Kelulusan dimata pelajaran itu sendiri tidak menjamin
keberimanan seseorang, tidak menjamin moral seorang baik, malah bisa
menjadikan seseorang bersikap munafik atau memiliki norma ganda. Bahaya
lain dari pendidikan agama di sekolah adalah terbentuknya pengkotakan
siswa dalam suatu sekolah menurut agamanya, ganti menumbuhkan rasa
solidaritas dan persatuan.
Dampak
yang muncul selanjutnya adalah fanatisme terhadap agama masing-masing
dan merendahkan agama lain, dan kecurigaan serta prasangka terhadap
“yang berbeda”. Sedang dampak lainnya adalah semangat Bhineka Tunggal
Ika, kesatuan dalam kemajemukan, diganti dengan siapa kuat dia menang,
siapa besar dia menentukan. Padahal dalam demokrasi, satu suara lemah
dari yang paling kecil sekalipun harus memperoleh kesempatan untuk
didengar dan dipertimbangkan oleh semua.
Tempat
belajar demokrasi yang pertama seharusnya adalah kelas pelajaran agama,
yang mengajarkan untuk menerima dan mengasah sesama manusia sebagai
bukti menghargai karya Allah tertinggi. Dalam kelas melalui pelajaran
agama pula orang belajar mengenai hak dan tanggungjawab manusia terhadap
Tuhan dan sesama makhluk karena saling ketergantungan manusia. Manusia
belajar tentang kuasa untuk melayani dan bukan untuk mengeksploitasi
atau memanipulasi untuk kepentingan sendiri.
Untuk
mencapai maksud itu maka metode yang digunakan oleh guru juga harus
mempu membangun kepribadian yang demokratis, menumbuhkan jati diri yang
berkualitas serta integrasi tinggi. Harus diakui bahwa pendidikan di
Indonesia penuh dengan politik para penguasa dengan tujuan agar sesuai
dengan penguasa bukan demi pengembangan generasi muda.3
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perguruan
agama Islam merupakan cikal bakal lahirnya pendidikan nasional. Dalam
sejarahnya, sebelum kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan
Baratnya yang modern, pesantren merupakan satu-satunya lembaga
pendidikan formal di Indonesia. Pendidikan formal di Indonesia sudah dimulai sebelum pemerintahan colonial, tepatnya sejak VOC.
Sistem
pendidikan di Indonesia dibawa oleh kolonial Belanda semasa menjajah
Indonesia. Pendidikan keagamaan merupakan bagian terpadu yang dimuat
dalam kurikulum pendidikan maupun melekat pada setiap mata pelajaran
sebagai bagian dari pendidikan nilai. Sasaran akhir dari pendidikan
agama haruslah seorang pribadi yang memiliki integrasi diri, mampu
menggunakan imannya dalam menjawab tantangan hidup dan mampu
memanusiakan sesamanya dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang
dikaruniakan Allah kepada manusia.
Dengan
kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memampukan manusia mengambil
bagian secara aktif, kreatif dan kritis dalam pembangunan masa depan
bersama yang lebih baik daripada masa lalu.
B. Saran
Penulis
harap dengan adanya makalah ini, para pembaca khususnya penulis dapat
memahami semua pembahasan yang telah diuraikan diatas. Penulis pun
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca guna sempurnanya
pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Azizy, Qodri. 2003. Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial. Semarang: CV. Aneka ilmu.
Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Th. Sumartana, dkk. 2001. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Posting Komentar